Tradisi Ma'nene Suku Toraja
Tana Toraja dikenal sebagai daerah yang memiliki beragam keunikan warisan budaya yang sangat tinggi, selain itu, kepercayaan animisme Toraja mengaburkan batas antara dunia dan akhirat, membuat orang-orang yang sudah meninggal tetap bisa berjumpa dengan orang-orang yang masih hidup di dunia. Begitu seseorang meninggal dunia, jasadnya tidak langsung dimakamkan, tapi disemayamkan terlebih dahulu selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Sementara itu, pihak keluarga menjaga dan merawat jenazah. Jenazah diperlakukan layaknya orang yang tengah sakit. Keluarga akan membawakan makanan, minuman dan rokok dua kali sehari. Jenazah dimandikan dan dipakaikan baju secara teratur. Keluarga bahkan menyediakan sebuah mangkuk yang digunakan sebagai "toilet" untuk almarhum di sudut ruangan. Jenazah tidak pernah ditinggalkan sendirian dan lampu selalu dinyalakan saat hari berganti gelap. Keluarga khawatir jika mereka tidak mengurus jenazah dengan baik, maka mereka akan ditimpa kesulitan.
Kepercayaan Aluk Todolo memiliki ajaran mengenai hubungan manusia (hidup) dengan orang mati, yaitu apabila seseorang yang baru mati dan belum sempat dimakamkan, maka orang yang mati tersebut hanya dianggap sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang masih hidup yang dalam keadaan sehari-hari masih disajikan makanan dan minuman. Hal itu berlangsung hingga saatnya diadakan upacara Rambu Solo’ yang menandakan bahwa orang tersebut telah dalam keadaan mati dan siap untuk dimakamkan.
Salah satu upacara adat kematian suku toraja yaitu upacara ma’nene. Upacara Ma’nene merupakan sebuah upacara mengganti busana jenazah leluhur. Pada saat Ma’nene berlangsung, peti-peti mati para leluhur, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu, kemudian diletakkan di tempat upacara. Pada saat yang sama, sanak keluarga dan para kerabat sudah menunggu dan berkumpul. Kemudian dengan hati-hati, wakil dari keluarga mengeluarkan jenazah dari peti dan kemudian mereka memasangkan pakaian yang berupa kain baru ke tubuh mayat.
Ma’nene dilaksanakan yaitu untuk memperbaharui peti mayat yang telah rusak, mengganti pakaian jenazah, serta juga biasanya memberikan sesajian baru kepada jenazah. Ma’nene dilakukan selama kurang lebih satu minggu. Upacara Ma’nene yang dilaksanakan masyarakat Toraja dianggap sebagai wujud kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari segala gangguan jahat, hama tanaman dan juga kesialan hidup.
Prosesi dari ritual Ma'Nene dimulai dengan para anggota keluarga yang datang ke Patane untuk mengambil jasad dari anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Patane merupakan sebuah kuburan keluarga yang bentuknya menyerupai rumah. Lalu, setelah jasad dikeluarkan dari kuburan, kemudian jasad itu dibersihkan. Pakaian yang dikenakan jasad para leluhur itu diganti dengan kain atau pakaian yang baru. Biasanya ritual ini dilakukan serempak satu keluarga atau bahkan satu desa, sehingga acaranya pun berlangsung cukup panjang. Setelah pakaian baru terpasang, jenazah tersebut kemudian dibungkus dan dimasukan kembali ke Patane. Rangkaian prosesi Ma'Nene ditutup dengan berkumpulnya anggota keluarga di rumah adat Tongkonan untuk beribadah bersama. Ritual ini biasa dilakukan setelah masa panen berlangsung, kira-kira di bulan Agustus akhir.
Ritual Ma'nene lebih dari sekedar membersihkan jasad dan memakaikannya baju baru. Ritual ini mempunyai makna yang lebih, yakni mencerminkan betapa pentingnya hubungan antar anggota keluarga bagi masyarakat Toraja, terlebih bagi sanak saudara yang telah terlebih dahulu meninggal dunia. Masyarakat Toraja menunjukkan hubungan antar keluarga yang tak terputus walaupun telah dipisahkan oleh kematian. Ritual ini juga digunakan untuk memperkenalkan anggota-anggota keluarga yang muda dengan para leluhurnya.
Bagi masyarakat Toraja Utara di pedesaan, Ma’nene memang merupakan tradisi untuk menunjukkan rasa kasih sayang kepada anggota keluarga yang telah berpulang. Informasi lebih lanjut yang didapatkan bahwa terdapat unsur kasih sayang yang ditunjukkan dengan membersihkan atau mengganti baju dan kain jenazah. Merawatnya agar tetap bersih meski jasad telah lapuk dimakan usia. Selain itu, keluarga juga memasukkan barang atau makanan kesukaan mendiang semasa hidup, seperti sirih dan kopi, ke dalam liang. Hal tersebut bukan untuk pemujaan. Tetapi semata-mata bentuk kasih sayang kepada keluarga yang telah tiada.
Meski dikatakan ritual, prosesi Ma’nene tak lantas berarti sarat unsur mistis. Setidaknya untuk saat ini. Prosesi yang mereka jalankan sekarang lebih banyak dipengaruhi ajaran Kristen., karena 90 persen orang Toraja adalah Kristen, maka tradisi Ma’nene itu sendiri kemudian dikristenkan. Ma'nene menjadi momen bagi seluruh keluarga untuk berkumpul. Anggota keluarga yang merantau ke tempat-tempat yang jauh pun akan sebisa mungkin berusaha pulang demi menghadiri upacara sakral itu , sekaligus untuk melepas kerinduan kepada keluarga dan kampong halaman.
Ma'nene sendiri punya dua makna sesuai dengan keyakinan masyarakat Toraja pada umumnya, istilah Ma'nene dipahami dari kata nene’ alias "nenek" atau leluhur atau orang yang sudah tua. Selain itu, ada juga yang mengartikan Nene’ sebagai orang yang sudah meninggal dunia. Baik meninggal dalam usia tua maupun meninggal dalam usia muda sama-sama. Kata nene’ kemudian diberi awalan “ma” yang jika digabung dapat diartikan sebagai “merawat mayat”. Ma'nene adalah bagian dari upacara Rambu Solo' atau upacara kematian dalam tradisi suku Toraja yang memang berlangsung panjang.
Pada hari yang telah ditentukan, keluarga datang ke lokasi persemayaman jenazah. Mayat telah diawetkan dan tersimpan rapi di dalam peti, kemudian dibersihkan dan diganti pakaiannya. Pakaian yang dikenakan kepada mayat merupakan pakaian kebanggaan atau kesukaan ketika masih hidup. Semisal dia dulu berprofesi sebagai polisi, maka yang dipakaikan bisa seragam polisi, lengkap dengan atributnya.
Tradisi Ma’nene dapat pula dimaknai sebagai ritual untuk mempererat silaturrahim sehingga keluarga yang berada diperantauan bisa datang menjenguk orang tua atau Nene To'dolo (nenek moyang). Prosesi mengganti pakaian satu mayat tidaklah lama, hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Usai mengganti pakaian mayat leluhur, masyarakat kampung berkumpul mengikuti acara makan bersama.
Adapun makna penyimpanan peti jenazah di dalam Batu dimaknai bahwa batu dipercaya sebagai simbol ”kuat dan abadi”. Mayat yang disimpan di dalamnya akan lebih awet, tidak segera membusuk seperti jika dikuburkan dalam bumi.
Dikutip dari penelitian Rudy Gunawan dan Merina pada jurnal Candrasangkala, Vol. 4, No. 2, 2018.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda