Rabu, 30 November 2022

Tradisi Ma'nene Suku Toraja


Tana Toraja dikenal sebagai daerah yang memiliki beragam keunikan warisan budaya yang sangat tinggi, selain itu, kepercayaan animisme Toraja mengaburkan batas antara dunia dan akhirat, membuat orang-orang yang sudah meninggal tetap bisa berjumpa dengan orang-orang yang masih hidup di dunia. Begitu seseorang meninggal dunia, jasadnya tidak langsung dimakamkan, tapi disemayamkan terlebih dahulu selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Sementara itu, pihak keluarga menjaga dan merawat jenazah. Jenazah diperlakukan layaknya orang yang tengah sakit. Keluarga akan membawakan makanan, minuman dan rokok dua kali sehari. Jenazah dimandikan dan dipakaikan baju secara teratur. Keluarga bahkan menyediakan sebuah mangkuk yang digunakan sebagai "toilet" untuk almarhum di sudut ruangan. Jenazah tidak pernah ditinggalkan sendirian dan lampu selalu dinyalakan saat hari berganti gelap. Keluarga khawatir jika mereka tidak mengurus jenazah dengan baik, maka mereka akan ditimpa kesulitan.

Kepercayaan Aluk Todolo memiliki ajaran mengenai hubungan manusia (hidup) dengan orang mati, yaitu apabila seseorang yang baru mati dan belum sempat dimakamkan, maka orang yang mati tersebut hanya dianggap sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang masih hidup yang dalam keadaan sehari-hari masih disajikan makanan dan minuman. Hal itu berlangsung hingga saatnya diadakan upacara Rambu Solo’ yang menandakan bahwa orang tersebut telah dalam keadaan mati dan siap untuk dimakamkan.

Salah satu upacara adat kematian suku toraja yaitu upacara ma’nene.  Upacara Ma’nene merupakan sebuah upacara mengganti busana jenazah leluhur. Pada saat Ma’nene berlangsung, peti-peti mati para leluhur, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu, kemudian diletakkan di tempat upacara. Pada saat yang sama, sanak keluarga dan para kerabat sudah menunggu dan berkumpul. Kemudian dengan hati-hati, wakil dari keluarga mengeluarkan jenazah dari peti dan kemudian mereka memasangkan pakaian yang berupa kain baru ke tubuh mayat.

Ma’nene dilaksanakan yaitu untuk memperbaharui peti mayat yang telah rusak, mengganti pakaian jenazah, serta juga biasanya memberikan sesajian baru kepada jenazah. Ma’nene dilakukan selama kurang lebih satu minggu. Upacara Ma’nene yang dilaksanakan masyarakat Toraja dianggap sebagai wujud kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari segala gangguan jahat, hama tanaman dan juga kesialan hidup.

Prosesi dari ritual Ma'Nene dimulai dengan para anggota keluarga yang datang ke Patane untuk mengambil jasad dari anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Patane merupakan sebuah kuburan keluarga yang bentuknya menyerupai rumah. Lalu, setelah jasad dikeluarkan dari kuburan, kemudian jasad itu dibersihkan. Pakaian yang dikenakan jasad para leluhur itu diganti dengan kain atau pakaian yang baru. Biasanya ritual ini dilakukan serempak satu keluarga atau bahkan satu desa, sehingga acaranya pun berlangsung cukup panjang. Setelah pakaian baru terpasang, jenazah tersebut kemudian dibungkus dan dimasukan kembali ke Patane. Rangkaian prosesi Ma'Nene ditutup dengan berkumpulnya anggota keluarga di rumah adat Tongkonan untuk beribadah bersama. Ritual ini biasa dilakukan setelah masa panen berlangsung, kira-kira di bulan Agustus akhir.

Ritual Ma'nene lebih dari sekedar membersihkan jasad dan memakaikannya baju baru. Ritual ini mempunyai makna yang lebih, yakni mencerminkan betapa pentingnya hubungan antar anggota keluarga bagi masyarakat Toraja, terlebih bagi sanak saudara yang telah terlebih dahulu meninggal dunia. Masyarakat Toraja menunjukkan hubungan antar keluarga yang tak terputus walaupun telah dipisahkan oleh kematian. Ritual ini juga digunakan untuk memperkenalkan anggota-anggota keluarga yang muda dengan para leluhurnya.

Bagi masyarakat Toraja Utara di pedesaan, Ma’nene memang merupakan tradisi untuk menunjukkan rasa kasih sayang kepada anggota keluarga yang telah berpulang. Informasi lebih lanjut yang didapatkan bahwa terdapat unsur kasih sayang yang ditunjukkan dengan membersihkan atau mengganti baju dan kain jenazah. Merawatnya agar tetap bersih meski jasad telah lapuk dimakan usia. Selain itu,  keluarga juga memasukkan barang atau makanan kesukaan mendiang semasa hidup, seperti sirih dan kopi, ke dalam liang. Hal tersebut bukan untuk pemujaan. Tetapi semata-mata bentuk kasih sayang kepada keluarga yang telah tiada.

Meski dikatakan ritual, prosesi Ma’nene tak lantas berarti sarat unsur mistis. Setidaknya untuk saat ini. Prosesi yang mereka jalankan sekarang lebih banyak dipengaruhi ajaran Kristen., karena 90 persen orang Toraja adalah Kristen, maka tradisi Ma’nene itu sendiri kemudian dikristenkan. Ma'nene menjadi momen bagi seluruh keluarga untuk berkumpul. Anggota keluarga yang merantau ke tempat-tempat yang jauh pun akan sebisa mungkin berusaha pulang demi menghadiri upacara sakral itu , sekaligus untuk melepas kerinduan kepada keluarga dan kampong halaman.

Ma'nene sendiri punya dua makna sesuai dengan keyakinan masyarakat Toraja pada umumnya, istilah Ma'nene dipahami dari kata nene’ alias "nenek" atau leluhur atau orang yang sudah tua. Selain itu, ada juga yang mengartikan  Nene’  sebagai orang yang sudah meninggal dunia. Baik meninggal dalam usia tua maupun meninggal dalam usia  muda sama-sama. Kata nene’ kemudian diberi awalan “ma” yang jika digabung dapat diartikan sebagai “merawat mayat”. Ma'nene adalah bagian dari upacara Rambu Solo' atau upacara kematian dalam tradisi suku Toraja yang memang berlangsung panjang.

Pada hari yang telah ditentukan, keluarga datang ke lokasi persemayaman jenazah. Mayat telah diawetkan dan tersimpan rapi di dalam peti,  kemudian dibersihkan dan diganti pakaiannya. Pakaian yang dikenakan kepada mayat merupakan pakaian kebanggaan atau kesukaan ketika masih hidup. Semisal dia dulu berprofesi sebagai polisi, maka yang dipakaikan bisa seragam polisi, lengkap dengan atributnya.

Tradisi Ma’nene dapat pula dimaknai sebagai ritual untuk mempererat silaturrahim sehingga keluarga yang berada diperantauan bisa datang menjenguk orang tua atau Nene To'dolo (nenek moyang). Prosesi mengganti pakaian satu mayat tidaklah lama, hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Usai mengganti pakaian mayat leluhur, masyarakat kampung berkumpul mengikuti acara makan bersama.

Adapun makna penyimpanan peti jenazah di dalam Batu dimaknai bahwa batu dipercaya sebagai simbol ”kuat dan abadi”. Mayat yang disimpan di dalamnya akan lebih awet, tidak segera membusuk seperti jika dikuburkan dalam bumi.


Dikutip dari penelitian Rudy Gunawan dan Merina  pada jurnal Candrasangkala, Vol. 4, No. 2, 2018.

Selasa, 15 November 2022

TEBING MANDU TONTONAN MAKAM DI ATAS TEBING



Makam tebing ternyata tidak hanya ditemukan di Tanah Toraja, ternyata makam tebing juga dapat kita temukan  di Kab. Enrekang. Makam ini merupakan situs prasejarah yang dikenal dengan nama Makam Tebing Mandu Tontonan.

Tebing Mandu Tontonan merupakan tempat penguburan mayat para raja. Situs prasejarah ini terletak di dusun Tontonan, Kecamatan Anggeraja, Kab. Enrekang. Situs ini berjarak 73 km dri kota Enrekang.

Tebing ini menjulang vertikal dan tegak lurus setinggi  sekitar 100 meter.  Di tengah tebing terdapat teras atau lubang memanjang terlihat seperti pahatan tangan manusia. Lubang tersebut berfungsi untuk  meletakkan peti jenazah yang mirip dengan peti (erong) yang ada di Toraja. petih-petih tersebut merupakan kuburan tua. Uniknya peti-petih tersebut berbentuk seperti perahu dan di dalamnya masih terdapat tengkorak manusia. 

Belum ada informasi lebih jelas mengenai sejarah tebing mandu tontonan.. Apakah dipahan manual dengan tangan manusia atau terjadi alami karena faktor alam dan bagaimana manusia dulu menaikkan mayat ke atas tebing. Hal tersebut mungkin bisa menjadi revensi judul penelitian bagi teman teman arkealogi atau sejarah yang masih bingung mencari topic penelitian. Selain itu, Tebing Mandu Tontonan memang penting untuk diteliti.

Menurut cerita yang didapat, kuburan batu ini masih memiliki hubungan erat dengan manusia pertamayang mendiami pulau Sulawesi, yang sekarang,, bermukim di Tanah Toraja. Ada yang beranggapan bahwa, makam yang berada di tebing ini merupakan makam leluhur orang Toraja.

Situs tebing mandu tontonan merupakan objek wisata perpaduan wisata alam dan sejarah. Hal tersbut membuat  tebing mandu tontonan banyak didatangi pengunjung. Di tempat ini, Kita dapat memanjakan pikiran, hati dan mata. Sungai tontonan  dan batu batu dibawah tebing  menambah agung keperkasaan tebing Mandu Tontonan.

Kita bisa duduk di atas bebatuan sungai,  semberi mendengar kicauan burung dan menghirup udaha segara. Di dalam area tebing mandu terdapat beberapa gazebo yang sering digunakan pengunjung untuk beristirahat. Namun sayang, tempat wisata ini belum mendapat perhatian maksimal, fasilitas untuk wisatawan di pinggir sungai inipun masih sangat minim.  Selain itu,  Para pemanjat tebing sering memacu adrenalinnya di tebing Tontonan setiap tanggal 17 Agustus, para pemanjat tebing akan mengibarkan bendera raksasa di sini.

Tebing mandu tontonan adalah, bagian dari khasana budaya dan sejarah  Sulawesi selatan yang harus dijaga dan dilindungi, karena situs ini memiliki nilai sejarah dan budaya manusia di masa lampau, berjuta-juta tahun yang lalu.


Rabu, 09 November 2022

Sumur Manurung Lapakkita Peninggalan Kerajaan Alitta

 


https://youtu.be/mBuOD_AOoNw

DRAF SUMUR MANURUNG LAPPAKITA

 

sejak zaman nenek moyang hingga sekarang,  masyarakat Indonesia sebagian besar masih memiliki  kepercayaan animism dan dinamisme meskipun, mereka memiliki agama. Mereka percaya adanya tempat-tempat yang memiliki kekauatan magis

Sebagian besar kepercayaan  akan adanya tempat-tempat yang dianggap memiliki kekuatan magis   tak lepas dari adanya cerita-cerita rakyat yang selalu mendampingi keberadaan tempat-tempat tersebut .

Begitu pula yang terjadi di Kab. Pinrang    tepatnya di desa Alitta, kec Mattiro bulu. Di daerah ini terdapat sebuah tempat  yang dianggap oleh warga memiliki kekuatan magis. Tempat tersebut dikenal dengan nama Bujung manurung lapakkita.

Masyarakat setempat percaya bahwa   tempat ini merupakan tempat bersejarah pada masa kerajaan Alitta  yang ke tiga,  yaitu raja La Massora  yang menarik dari kisah ini  ialah  istri raja La Massora bukan merukan manusia biasa, tetapi ia adalah seorang bidadari yang turun dari kayangan. Itulah ceriita yang beredar saat ini (berbicara di depan sumur)

            Bujung manurung Lapakkita .    Bujung berarti sumur    manurung berarti manusia yang turun dari langit, dan Lapakkita adalah nama dusun tempat sumur ini berada.  Bujung manurung lapakkita merupakan peninggalan di masa kerajaam Alitta. Sumur ini muncul bersamaan dengan adanya cerita rakyat pada masa itu.  Menurut cerita masyarakat setempat ,  sumur ini dibuat oleh raja Alitta  yaitu raja La Massoran atas perintah dari istrinya. Istri  raja La Massora adalah seorang bidadari yang berasal dari kayangan. Ia meminta dibuatkan sumur karena tidak ingin mandi dengan air manusia.  Begitulah cerita-cerita yang tersebar dan dipercaya oleh  masyarakat tentang tempat itu.

Bujung manaurung lapakkita telah menjadi cagar budaya yang harus dilestarikan . Sumur ini sifat dangkal. Namun, sumur ini tidak perna meluap di musim hujan dan tidak perna kering di musim kemarau. Dari dulu sampai sekarang jumlah debit airnya tetap sama. Hingga kini, masyarkat percaya adanya unsur magis yang membuat air sumur tidak perna berubah. Dinding sumur ini terbuat dari batu-batu gunung. Sumur manurung lapakkita diperkirakan berada ditempat itu sejak tahun 19600 

Disamping Sumur Manurung Lapakiita, ada sebuah rumah-rumah kecil yang berisikan batu  yang dianggap sebagai batu raja karena menurut penjaga sumur tersebut  batu ini  muncul tepat pada saat raja  Alitta menghilang dan tak ditemukan jejaknya. Batu ini  juga dipercaya memiliki kekuatan magis, sehingga tak sedikit pula orang yang mengunjungi batu tersebut   untuk meminta berkah kepada Tuhan

Adanya kepercayaan terhadap Sumur Manurung Lapakkita dan batu yang mendampinginya   tak lepas dari kepercayaan setiap individu , entah   mau percaya atau tidak . Entah menganggap kemusyirikan atau bukan?, tentu kembali ke individu masing-masing .  Yang perlu kita ingat pencipta kita hanya satu yaitu Allah Subhana wa ta’alah. KepadaNyalah kita menyembah dan kepadaNyalah kita kembali.